Profil

Foto saya
Nama Lengkap : SADARESTUWATI, Hj, SP. No. Anggota : A-388. Tempat Lahir : Jombang. Tanggal Lahir : 26 July 1970. Suami : Ir.H. Masykur Affandi, M.MA. Jenis Kelamin : Wanita. Komisi : V. Dapil : Jatim 8. Jabatan di Fraksi: Anggota. Jabatan di DPR-RI: Anggota Komisi V, anggota BURT, Bendahara POKSI Fraksi PDIP. Pansus : Panja RUU Rumah Susun, Panja Kereta Api. Jabatan di MPR-RI: Anggota. Jabatan di Partai: Wakil Ketua Bidang Sumber Daya Dewan Pimpinan Daerah PDI Perjuangan Jatim. Perolehan Suara pada Pemilu 2009 : 117.193 Suara

20.7.11

TRANSPORTASI LAUT

Hingga berapa kali lagi peristiwa yang sama terus berulang. Kebakaran demi kebakaran, kecelakaan demi kecelakaan, semua seperti sambung menyambung menjadi sebuah rantai musibah yang cukup panjang yang terjadi di tanah air ini. Belum juga kering airmata setelah peristiwa terbakarnya Kapal Motor Penumpang (KMP) Laut Teduh II di perairan Selat Sunda, Merak, Banten, pada 28 Januari 2011 lalu, baru-baru ini, peristiwa yang sama kembali terjadi. Kali ini adalah terbakarnya Kapal Roro Salvia tujuan Tanjung Priok-Bangka Belitung di kepulauan Seribu, Jakarta, pada 8 Februari 2011 kemarin.

Meski tidak sampai jatuh korban, peristiwa ini tentu saja semakin menambah deret panjang persoalan buruknya pengelolaan transportasi laut di Indonesia. Pasalnya, jauh sebelum kejadian ini peristiwa yang sama telah terjadi, bahkan dalam cakupannya yang lebih besar, baik dari segi korban maupun kerugian yang ditimbulkan dari akibat kejadian itu. Untuk menyebut kasus yang sama, yang terjadi di awal tahun 2011 ini, yaitu kebakaran yang menimpa KMP Laut Teduh II itu. Dalam kejadian itu, korban yang meninggal dunia mencapai 13 orang dan 22 orang lainnya menderita luka-luka. Besaran ini tentu saja belum termasuk kerugian yang bersifat materi.


Kejadian ini mengundang keprihatinan sejumlah wakil rakyat. Sadarestuwati bersama dua temannya sesama anggota dewan melakukan kunjungan ke lokasi kejadian terbakarnya Kapal Roro Salvia di Tanjung Priok. Estu—panggilan akrab Sadarestuwati, mengunjungi para korban kebakaran dan Terminal Pelabuhan Tanjung Priok seraya melihat langsung kapal yang terbakar itu. Meski pada akhirnya, hingga ketiganya pulang mereka tidak sempat melihat langsung, namun perhatian yang diperlihatkan Estu dan dua rekannya sesama anggota dewan menjadi bukti nyata bagi perhatian kepada rakyatnya.


Estu melakukan komunikasi persuasif dengan para penumpang. Menanyakan proses kejadiannya hingga kemudian mereka sampai berhasil dievakuasi. Secara tidak langsung kedatangannya menjadi penyemangat bagi para korban kebakaran kapal itu. Ini juga semakin membuktikan komitmen kerakyatan salah seorang wakil rakyat dari PDI Perjuangan terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh rakyatnya. “Siapa pun mereka, latar belakang apa pun mereka, sebagai korban kita wajib melindunginya, minimal kita mampu berempati terhadap persoalan yang tengah merundung mereka,” ucap Estu.

Demikian juga, ia meminta keterangan kepada Kepala Syahbandar Pelabuhan Tanjung Priok itu, seputar kronologis kejadian itu. Ia menanyakan semua faktor yang kemungkinan menjadi penyebab kejadian kebakaran tersebut. Tanpa berpretensi menghakimi atau bahkan menyalahkan, perempuan kelahiran Jombang ini mencatat semua informasi yang disampaikan oleh sang Kepala Syahbandar. Dari identifikasi sementaranya itu, ia menemukan ada faktor human error yang memungkinkan terjadinya kejadian tersebut. Kesimpulan ini pula yang dilihatnya secara menyeluruh terhadap faktor kecelakaan di beberapa kali kejadian sepanjang perjalanan negeri ini dalam mengelola sistem pentransportasian di Indonesia.

Karena faktor human error itu pula yang menjadikan Estu seperti menambah lebih prihatin manakala melihat pengelolan sistem pentransportasian di tanah air kita. Pasalnya, bagi wakil rakyat asal Dapil IV Jawa Timur ini, tidak ada kecelakaan yang tidak dapat diminimalisir kemungkinan penyebabnya. Meski tentu saja orang tidak dapat mengetahui kapan kejadiannya, namun tentu saja dapat diantisipasi berbagai kemungkinannya. Sampai pada titik inilah, pemerintah dan semua stakeholders yang terlibat perlu bertanggung jawab untuk mengatasi kemungkinan yang lain akan terjadi lagi.


Bagi Estu, sebuah moda transportasi baik laut, udara, maupun darat untuk layak beroperasi harus terlebih dahulu memenuhi kualifikasi Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku di masing-masing unit kerjanya. SOP itu meliputi baik dari segi kelayakan kapal, tahun pembuatan, daya muat, hingga tenaga SDM-nya. Menurutnya, sejauh ini, pengaturan transportasi laut ditetapkan dalam UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa keselamatan dan keamanan pelayaran adalah terpenuhinya keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhan, dan lingkungan maritim (ayat 32, pasal 1). Demikian juga diatur mengenai kelaiklautan kapal dan keselamatan kapal. Adapun keselamatan kapal diatur mengenai keharusan sebuah kapal yang akan beroperasi memenuhi syarat, di antaranya dari segi konstruksi, bangunan, permesinan dan pelistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan penolong dan radio, elektronik kapal, yang dibuktikan dengan sertifikasi.


Sejalan dengan ini, Kemenhub juga telah memiliki aturan yang terkait dengan keselamatan transportasi laut. Kemenhub bahkan telah melakukan pengetatan sertifikasi bagi kelayakan operasi kapal. Sertifikasi ini merupakan standar yang menunjukkan layak tidaknya roda transportasi untuk beroperasi. Lebih jauh dari itu, pemerintah telah menerapkan sistem manajemen keselamatan (safety management system) pada seluruh sistem transportasi di Indonesia.


Bila melihat itu, kata Estu, perhatian pemerintah dalam menyediakan peraturan perundang-undangan yang mengatur keselamatan transportasi laut sudah lebih cukup memadai. Hanya saja, efektifitas pelaksanaannya di lapangan masih jauh panggang dari api. Artinya, aturan itu kekuatannya hanya terletak pada rekayasa wacana di tingkat elit saja, sementara lemah pada saat eksekusi di lapangan. Kenyataan ini banyak menjadi faktor penyebabnya, apakah dari pihak operator sendiri, maupun dari masyarakatnya sebagai pengguna jasa transportasi, yang lengah, atau bahkan tidak taat pada aturan yang telah ditetapkan oleh operator.
Penumpang, dalam hal ini tidak jarang melalaikan keamanan, seperti membawa bagasi berlebihan dan meletakan di sembarang tempat, merokok di sembarang tempat, dan sebagainya. Kesemuanya ini menunjukkan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap keselamatan dan keamanan mereka sendiri. Padahal sudah menjadi keniscayaan, di mana keselamatan atau kecelakaan sangat bergantung dari berbagai pihak, baik dari sisi awak kapal, maupun juga dari sisi penumpang.

Dalam beberapa kasus kecelakaan kapal umumnya disebabkan oleh faktor human eror.


Seperti yang disebutkan dalam data Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang dirilis pada 2008 menyebutkan bahwa sepanjang tahun terakhir terjadi kecelakaan mencapai 44 kasus. Dari besaran itu, hampir 85 persen banyak disebabkan oleh faktor kesalahan manusia, baik karena kapal bocor, mesin rusak, terbakar. Ironinya lagi, penyelesaian kasus ini seringnya lebih bersifat parsial dan sesaat. Artinya, bila terjadi kecelakaan, misalnya, pemerintah biasanya langsung mencabut ijin operasional perusahaan pelayaran dan penetapan nahkodanya sebagai tersangka. Di luar itu, substansi persoalannya sering kali tidak terungkap. Karenanya tidak salah bila kemudian kasus yang sama terus berulang.


Dengan begitu, kejadian terbakarnya KMP Laut Teduh II itu sejatinya semakin memperlihatkan ketidakberhasilan pemerintah dalam menangani sistem transportasi laut. Karena yang sangat tragis bukan hanya sebab moda transportasi kapal yang terbakar, namun yang paling disayangkan dan sangat memprihatikan adalah jatuhnya korban yang meninggal dunia dan luka-luka.


Estu melihat adanya kekeliruan mendasar dalam penanganan kejadian kecelakaan KMP Laut Teduh tersebut. Bermula karena tidak memenuhi standar kelaikan baik dari segi kapal maupun muatan. Pihak operator pelayaran rupanya kurang memperhatikan jumlah penumpan dan jenis barang yang berbeda dengan manifes. Hal ini seringnya terjadi pemadatan muatan kapal yang tidak memenuhi syarat. Buruknya, keadaan seperti ini diketahui oleh nahkoda syahbandar dan otoritas pelayaran lainnya, yang dianggap sebagai hal yang biasa.


Di beberapa kasus kecelakaan bahkan, keadaan fasilitas kapal tidak laik, di mana fasilitas pendukung keselamatan penumpang, seperti sekoci dan pelampung, jauh dari ketersediaan bila dibandingkan dengan penumpang. Daya angkut, keamanan, kenyamanan kapal serta kapasitas dermaga seringkali juga kurang memadai, terutama di bagian timur Indonesia. Fasilitas air bersih di kapal yang kurang dan bahkan kadang-kadang tidak ada, sehingga penumpang harus menahan belasan jam tanpa ke kamar mandi.

Dari berbagai faktor penyebab terjadinya kecelakaan itu, seperti dengan mudah terus-terusan berulang, hal ini dimungkinkan karena tidak dilakukannya implementasi pengawasan ketat pelabuhan sesuai aturan IMO (International Maritime Organization) yang berbasis profesional dan kesadaran yang tinggi akan pentingnya keselamatan oleh masyarakat konsumen pengguna jasa transportasi laut.

Konsumen dalam Penyelamatan Kapal

Indonesia selain dikenal sebagai negara agraris juga sebagai negara maritim. Hal ini karena sejak awal kepulauan ini memiliki pengalaman kelautan yang sangat mumpuni. Hanya saja, bangsa ini seperti terus-terusan tertinggal dari negara-negara tertangga, dalam pengelolaan sistem transportasi lautnya. Untuk menghindari terjadinya jatuh korban lagi, maka pemeirntah dan semua pihak terkait segera melakukan langkah-langkah antisipatif pembenahan terhadap faktor-faktor yang selama ini dituding sebagai bagian dari penyebab persoalan kecelakaan tersebut.

Dalam perspektif peraturan internasional tentang keselamatan dan pengoperasion kapal, serta pencegahan dari pencemaran lingkungan, yang tertuang dalam International Safety Management (ISM Code), secara ketat mengatur seluruh aspek yang terkait dengan pelayaran. ISM ini dikeluarkan oleh IMO (International Maritime Organization), sebuah badan khusus di PBB, yang beranggotakan 169 negara yang berhimpun di bawah payung PBB itu, tiga asosiasi pelayaran di dunia. Melalui ISM ini, IMO menentukan standar keselamatan secara internasional dalam praktik pelayaran.

Dalam hal pengaturan operasi kapal, ketetapan ISM adalah harus memenuhi sistem manajemen keamanan (safety management system), yang mencakup: (1) keselamatan dan kebijakan-perlindungan lingkungan; (2) petunjuk dan prosedur untuk memastikan operasi yang aman dari kapal dan perlindungan lingkungan sesuai dengan UU pada masing-masing negara; (3) batas kewenangan dan komunikasi antara personil kapal dan penumpang; (4) prosedur pelaporan kecelakaan dan ketidaksesuaian dengan kode ISM ini; (5) prosedur untuk penyiapan dan tanggap darurat; dan (6) prosedur audit internal dan analisis manajemen.

Dalam berbagai produk undang-undang, sering disebutkan bahwa keberadaan masyarakat adalah sebagai alat kontrol dalam berbagai aspek penyelenggaraan jasa, baik yang dikelola negara maupun pihak swasta. Namun kebijakan semacam ini perlu diperjelas dalam hal apa masyarakat dapat berperan untuk mengontrolnya. Dalam sistem keselamatan transportasi laut, peran-peran apa sajakah yang sesungguhnya dapat dilakukan oleh masyarakat konsumen?


Masyarakat konsumen hendaknya dilibatkan dalam upaya pengawasan karena pada dasarnya mereka memiliki tiga fungsi yang penting. Pertama, sebagai definer. Artinya konsumenlah penentu layanan yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, sehingga konsumen memberikan kontribusi untuk menentukan standar mengenai kenyamanan, kemudahan akses, serta waktu yang dibutuhkan Kedua, sebagai informan. Artinya konsumen adalah sumber informasi utama mengenai apa yang terjadi dalam pelayanan yang diberikan oleh pihak penyedia jasa, sehingga apabila jasa transportasi laut yang diterima konsumen dirasa tidak memuaskan, konsumen dapat menginformasikan keluhannya kepada penyedia jasa atau pihak berwenang lainnya Ketiga, sebagai evaluator. Konsumen merupakan penerima akhir sebuah pelayanan, maka ia dapat memberikan penilaian yang akurat (baik dan buruk) atas bentuk layanan didapatkannya
.

Namun untuk bisa menjalankan fungsi tersebut secara optimal, maka konsumen harus memahami seluk beluk pengetahuan tentang jasa transportasi laut (product knowledge), proses pelaksanaan jasa transportasi laut (business process), infrastruktur, serta sumberdaya manusianya. Artinya konsumen harus mengetahui bahwa keempat hal tersebut adalah unsur-unsur utama dalam penyelenggaraan jasa transportasi laut yang aman, serta bentuk pelayanan yang baik dan memenuhi standar.


Fungsi-fungsi konsumen ini sangat mendesak untuk diakomodasi oleh penyedia jasa transportasi laut sebagai pelaku usaha dan oleh instansi pemerintah yang berkepentingan sebagai regulator. Penumpang sebagai konsumen selayaknya diberi sarana untuk menyampaikan umpan balik dan didengar saran-sarannya demi perbaikan jasa transportasi laut.


Umpan balik (feedback) dari penumpang inilah yang akan sangat berguna untuk membantu menentukan prioritas penyelesaian masalah jasa transportasi laut sebagi upaya kontrol dan pembenahan manajemen. Dengan mengetahui prioritas, pelaku usaha dan regulator akan dapat menetapkan langkah apa yang harus diambil terlebih dahulu untuk menangani masalah-masalah yang paling mendesak, dan selanjutnya secara bertahap menyelesaikan semua permasalahan yang dikeluhkan penumpang.


Wadah atau institusi yang akan menerima penyampaian umpan balik dari konsumen ini dapat berupa badan atau lembaga khusus yang bekerja untuk menampung pengaduan konsumen dan menyelesaikannya secara cepat dan tepat. Keberadaan badan pengaduan atau penyelesaian sengketa konsumen yang baik memiliki indikator-indikator. Pertama, indikator akses, badan tersebut harus: biaya murah, prosedur sederhana, memiliki bukti-bukti yang berfokus pada keadilan, komprehensif (semua aspek pengaduan tercakup dalam sekali penyelesaian), dapat diakses langsung oleh konsumen, disosialisasikan secara baik dan dimengerti oleh konsumen Ketersediaan (availability), artinya tersedia untuk semua konsumen jasa transportasi laut di berbagai tempat di Indonesia, tidak hanya di pelabuhan-pelabuhan besar saja.


Kedua
, indikator kejujuran, yaitu: akuntabilitas kepada publik, di mana memiliki mekanisme yang dapat diketahui oleh masyarakat, pendekatan dengan hati nurani di mana konsumen memiliki hak untuk berkonsultasi dengan ahli sebelum mengajukan pengaduan.

Ketiga
, indikator efektivitas, yaitu: ruang lingkupnya menyeluruh dan memuaskan pengguna jasa maupun regulator dan pelaku usaha, kecepatan, waktu penyelesaian pengaduan singkat, mampu mengatasi problem sistemik, keputusan yang mengikat pelaku usaha.

Dengan begitu, untuk upaya perbaikan bagi pelayanan transportasi laut sebaiknya mulai dirancang dengan lebih mengikutsertakan dan mengakomodir kepentingan konsumen. Tidak ada salahnya jika pemerintah sebagai regulator dan penyedia layanan transportasi laut sebagai provider atau operator dapat mencoba membentuk suatu divisi atau badan mediasi bagi pengaduan konsumen. Badan atau divisi ini berfungsi lebih dari sekadar customer service bagi konsumen yang mengajukan keluhan, namun juga mampu menjalankan aktivitasnya untuk menggali kebutuhan-kebutuhan konsumen akan moda transportasi ini.


Bertolak dari itu, kita semua berharap agar persoalan-persoalan selama ini dalam pengelolaan sistem transportasi dapat segera teratasi. Semoga.